Jembatan Bacem

    Jika Anda adalah warga Kabupaten Sukoharjo atau Kabupaten Wonogiri. Tentu tak asing mendengar nama jembatan Bacem. Entah dari mana asal muasal dinamakan jembatan Bacem. Dari para orang tua dan sesepuh desa tidak bisa memberi jawaban memuaskan tentang nama ini. Tapi kalau saya simpulkan sendiri, jembatan Bacem adalah bermula dari kisah seorang pedagang tempe dan tahu bacem. Kemungkinan begitu, tapi ini tidak bisa dijadikan rujukan lho. Ini hanya otak atik gatuk.
       
      Kejadian ini sudah lama berlalu. Kurang lebih tiga tahun lalu, saat saya masih bekerja sebagai kasir di Alfamart Solo Baru. Begitu saya meninggalkan Solo terbersit ingin bercerita tentang jembatan Bacem. Tiga tahun lalu saya masih tinggal bersama orang tua di Bulakrejo Kabupaten Sukoharjo. Dinamakan Bulakrejo karena desa saya tinggal berada di tengah-tengah bulak atau persawahan. Menurut orang tua saya, desa Bulakrejo di bawah tahun 1980 masih tergolong sepi. Kalau malam hari sesudah isya kendaraan yang lewat bisa dihitung dengan jari. Tapi sekarang sungguh jauh berubah. Lalu lalang kendaraan semakin padat. Kejadian yang saya alami ini sungguh-sungguh membuat saya percaya dengan penuturan para orang tua. Jembatan Bacem pada tahun 1965, menjadi saksi bisu pembantaian orang-orang yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
       
      


  
    Pertengahan September 2011

       
 Segera ku starter Mio kesayangan setelah absen pulang. Di parkiran sepeda motor hanya ada beberapa motor yang parkir. Malam menjadi basah setelah dari sore tadi diguyur hujan deras. Seperti biasanya saat pulang malam, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku nongkrong dulu di angkringan Pak Dul. Di Solo warung seperti ini tak terhitung jumlahnya, biasa disebut HIKS ; Hidangan Istimewa Khas Solo. Menikmati HIKS sesudah hujan lebih tarasa nikmatnya. Wedang jahe susu panas, dengan jajan bakwan, jadah bakar dan aneka cemilan rupa rasa tersedia. Dengan lima ribu rupiah telah cukup memuaskan laparku.
        “Kang, total sama yang minggu lalu berapa ?” Aku ingin membayar hutang mingguan kepada Kang Dul.
        “Dengan yang hari ini, ya ?” Dia balik tanya.
        “Iya laaah …, semuanya mitung dino he he he ,” jawabku berseloroh.
        “Seperti orang mati saja mitung dino. Semua dua puluh delapan ribu.” Aku mengulungkan satu lembar lima puluh ribu rupiah.
        “Sisanya masuk deposito ya, Kang ?” Aku tak meminta kembalian.
        “Eh… tumben kau ini, Ler.” Kang Dul balik bicara karena uang sisanya aku minta dia menyimpan. Usai menuntaskan tegukan terakhir aku pamit kepada Kang Dul. Di warung angkringan Kang Dul masih ada tiga orang nongkrong. Biasanya kalau tidak hujan bisa lebih banyak. Pelanggannya adalah para para pekerja malam sekitar Alfamart. Di antaranya adalah sopir taxi yang selalu mangkal di sekitar patung Pandawa.
        “Le…, boleh aku numpang ?”Seorang laki-laki setengah baya menghampiriku.
        “Mau kemana, Pak ?”
        “Aku mau pulang Kadokan.” Jawabnya singkat. Sebenarnya Kadokan sendiri cukup dekat. Dari jembatan Bacem lurus ke timur menyusuri tanggul Bengawan Solo. Tidak seperti biasanya juga, kebetulan sekali tidak ada ojek yang mangkal.
        “Sampai Kadokan berapa, Le ?”
        “Oh, tidak usah, Pak. Saya bukan tukang ojek, kebetulan saja saya mau pulang ke Bulakrejo. Mari saya antar, Pak.” Kasihan juga, sudah tengah malam tidak ada ojek. Kalau harus berjalan ke Kadokan bisa cukup lama.
        “Terimakasih atas bantuannya, Le.”
        Skutik meluncur pelan di jalan aspal. Memasuki jalan Sukoharjo Wongogiri aku memotong jalan dan turun ke Kadokan. Aku merasa ada yang janggal dengan laki-laki yang aku boncengkan ini. Skutik Mio terasa ringan saja padahal dinaiki berboncengan.
        “Bapak ini dari mana ?” Aku membuka bicara saat skutik masuk di pinggiran Bengawan Solo.
        “Aku dari Langenharjo. Menengok saudara sedang sakit.”
        “Bapak jalan kaki dari Langenharjo ke Pandawa ?” Tanyaku heran.
        “Harus bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa dimintai tolong mengantar ke Kadokan.”
        Aku menghindari genangan air hujan. Sementara keadaan sudah sepi. Tidak ada warga yang berjaga di Poskamling. Mungkin karena alasan hujan deras tadi sehingga tidak ada orang yang keluar rumah. Aku tetap waspada dengan jalan yang licin.
        “Le, ujung gang itu belok kanan. Rumahku paling ujung dekat tanggul.”
        “Iya, Pak.” Hampir mendekati rumah orang tua itu. Hujan mulai turun lagi dan sangat deras.
        “Le, daripada kamu memaksa diri pulang mendingan istirahat dulu. Kalau deras begini tidak akan lama. Kamu tidak bawa jas hujan, to  ?” Aku seperti kerbau dicocok hidungnya. Kubuka bagasi skutik mencari jas hujan.
        “Eh .., iya Pak. Aku lupa menaruh jas hujan tadi siang.”
        “Ya sudah, sini masuk ke dalam saja. Di luar dingin.”
        Memasuki ruang tamu aku sungguh terpukau. Dari luar rumah ini begitu sederhana. Namun ketika di dalamnya sungguh luar biasa indahnya. Di dalamnya sofa dan perabot mewah ditata dengan rapi.
        “Kamu mau minum apa, Le ?”
        “Tidak usah repot, Pak. Tadi saya sudah minum wedang dam perut saya kenyang. Pak dari tadi saya belum tahu nama Bapak.”
        “Oh…, saya Projo Winoto. Kamu namanya siapa ?”
        “Saya Harnowo, tapi biasa dipanggil Boler. Lengkapnya Boler Geseng. Tidak tahu mengapa teman-teman saya memanggil demikian. Kalau geseng itu karena kulit saya yang gelap.” Aku menjelaskan kepada Pak Projo.
        “Tidak apa-apa yang penting kamu sehat. Waktu aku muda dulu juga punya nama alias. Saat masih seumuran kamu aku dipanggil Penyot.” Ujarnya menjelaskan.
       
        “Toloooong toloooong tolooong !” Suara seorang wanita berteriak lantang di belakang rumah.
        “Pak, ada yang minta tolong.”
        “Ayo ke belakang.” Kami berdua beranjak ke belakang rumah. Bergegas menuju arah suara. Langkah kami terhenti. Suasana begitu mencekam dan genting. Puluhan orang diturunkan dari truk. Aneh, dua mobil itu adalah mobil Mercedez jaman dahulu. Kepala truk warna hijau. Satu per satu laki-laki digiring. Aku bersembunyi di balik rimbun rumput gajah yang tumbuh lebat di tanggul Bengawan Solo. Pak Projo yang tadi bersamaku tidak ku temukan. Aku menyaksikan pemandangan yang sungguh selama ini tiada pernah aku lihat.
        Puluhan laki-laki tangannya diikat ke belakang. Semua tanpa alas kaki. Tubuh mereka ringkih tak berdaya. Dari bawah jembatan aku melihat badan mereka disuruh menghadap ke sungai. Di bawah hujan dan kilat menyambar aku dapat melihat dari balik rimbun rumput gajah yang tumbuh di pinggiran tanggul Bengawan Solo.
        “Kamu ! Kamu ! Hadap jembatan !” Teriak seorang bersenjata. Satu per satu seluruh penumpang mobil truk diminta berbaris dan menghadap ke pagar jembatan. Dengan tangan diikat orang-orang itu tak bisa berbuat apa-apa. Dengan kepala menunduk mereka pasrah. Malam semakin mencekam. Air hujan membasahi seluruh tubuhku. Ku tajamkan pandangan mataku ke arah jembatan. Orang-orang bersenjata tampak bersiaga. Ada yang berjaga di ujung jembatan. Mondar-mandir mengawasi keadaan. Pemandangan malam menjadi kian mencekam. Aku sudah sering kali lewat kuburan yang angker. Tapi baru kali ini melihat dengan mata kepala sendiri pemandangan yang sungguh mencekam. Nyaliku ciut, aku tak berani bergerak dari tempat persembunyian. Tiba-tiba senjata itu menyalak berulang kali.

        “Dor ! Dor Dooor !” Rentetan peluru dilepas dari senjata. Barisan orang-orang itu seketika roboh. Setelah ditembaki peluru tajam, orang-orang itu kemudian ditendang dan dilemparkan begitu saja ke sungai. Tubuh mereka satu per satu hanyut. Aku melihat mayat-mayat itu mengambang di aliran Bengawan Solo. Aku ketakutan luar biasa. Baru kali ini aku melihat eksekusi manusia. Aku sudah terbiasa melewati tempat angker. Tapi kali ini aku merasakan takut yang hebat. Badanku menggigil gemetar. Dengan mengendap-endap aku berusaha menyingkir dari tempat itu. Aku mencari Pak Projo barangkali dia bersembunyi di tempat lain. Hujan semakin deras aku menuju rumah Pak Projo. Dari kejauhan sepeda motorku masih utuh di teras rumah. Berkali-kali halilintar menyambar. Alam tampak berkabung dan murka dengan kejadian malam jahanam ini. Petir dan kilat bersahutan.
       
Dhuuuuuuar !” Suara geledek meledak di atas kepalaku. Satu pelepah daun kelapa terlepas dari atas. Hampir bersamaan dengan cahaya guntur. Lokasi tanah tempat aku berpijak menjadi terang benderang. Dan tidak aku duga, pelepah daun kelapa itu mengenai tubuhku. Saking licinnya jalan aku terjerembab. Keadaan menjadi gelap gulita. Selanjutnya aku tidak ingat lagi bagaimana kejadian selanjutnya. Tahu-tahu keesokan pagi aku sudah berada di Puskesmas Grogol.
“Pak Projo…Pak Projo dimana ?” Orang pertama yang aku cari adalah Pak Projo yang semalam aku boncengkan. Ternyata Mas Prambudi, Supervisi di tempat aku bekerja berada di sebelahku.
“Aku ditelpon dari kantor polisi. Warga sekitar Kedokan menemukanmu pingsan di pinggir tanggul Bengawan Solo. Sepeda motormu masih utuh tidak jauh dari tempatmu ditemukan. Jangan khawatir, hape dan dompetmu tidak hilang. Aku sudah menghubungi orang tuamu.” Mas Pram menerangkan panjang lebar.
“Mas……., Mas…tadi malam aku melihat penembakan di atas jembatan.” Ucapku pelan.
“Penembakan ? Penembakan apa ?” Tanya Mas Prambudi heran.
“Iya …, semalam ada dua truk orang-orang ditembaki. Mereka kemudian dihanyutkan di sungai.”
“Ler, jangan ngawur kamu. Tidak ada kejadian apa-apa. Justru orang di kampung Kedokan itu yang ramai menemukan kamu dan dilaporkan ke polisi. Salah seorang warga tahu kalau kamu bekerja di Alfamart dan menemuiku. Makanya aku kemudian sampai disini.”

Setelah aku dinyatakan tidak apa-apa baru kemudian boleh pulang. Mas Pram sendiri yang mengantar aku ke rumah. Aku belum sepenuhnya percaya dengan apa yang aku alami tadi malam. Tapi kejadian itu membuatku semakin terbuka dengan cerita 49 tahun yang lalu. Menurut cerita sesepuh dan para orang tua. Pada tahun 1965 pernah dilakukan penumpasan dan eksekusi di atas Jembatan Bacem. Mereka adalah para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Hari ini aku diijinkan tidak masuk kerja oleh Mas Pram. Keadaanku masih lemah karena tertimpa pelepah daun kelapa. Ada memar di punggungku,beruntung tidak mengenai kepalaku. Satu hari sesudahnya aku sudah boleh masuk kerja. Sebetulnya juga tidak terlalu serius.
“Ler…, ini ada titipan.” Kang Dul berbicara sembari mengulungkan selembar surat.
“Dari siapa, Kang ?”
“Aku tidak menanyakan namanya. Tapi menurut yang memberi surat itu katanya kamu kenal.”
“Oh… kok aneh sekali.”
“Sudah buka saja. Dia bilang kalau kamu pernah membocengkannya dua hari lalu.” Aku tahu sekarang, surat ini dari Pak Projo. Orang yang pernah aku antar pulang ke Kadokan. Pelan-pelan ku buka amplop itu. Di dalamnya ada secarik kertas.

Ler, kamu sekarang sudah tahu. Paling tidak kamu bisa percaya terhadap cerita jembatan Bacem. Terima kasih sudah diantar pulang ke rumah. Kalau ada waktu mampirlah ke rumahku.

Projo Winoto

Aku malah lupa dengan Pak Projo. Orang tua yang dua hari lalu menyertaiku di tanggul Bengawan Solo. Kebetulan karena hari ini aku masuk pagi, sorenya setelah pulang kerja aku mau mampir ke rumah Pak Projo.
Mudah saja aku mencari kampung Kadokan. Mengurutkan jalan yang pernah aku lewati bersama Pak Projo. Sampai di ujung jalan kemudian belok kanan. Sesudah lewat Poskampling aku menghentikan sepeda motor. Aku mencari rumah kayu milik Pak Projo. Di pinggir tanggul berderet ada lima rumah. Daripada bingung yang mana aku bertanya dengan seorang yang sedang berada di serambi rumah.
“Bu…, maaf numpang bertanya.”
        “Iya, nak. Mau ke rumah siapa ?”
        “Saya mau mencari rumah Pak Projo Winoto. Rumahnya yang mana ya ?”
“Pak Projo Winoto ?” Ibu itu malah tampak bingung.
“Di kampung ini tidak ada yang namanya Projo Winoto.”
“Bu, dua hari lalu saya pingsan di sekitar sini. Kejatuhan pelepah daun kelapa.”
“Oooo… saya ingat. Jadi kamu orangnya ya, Nak ?”
        “Iya saya pernah mengantar Pak Projo pulang ke Kadokan sini.” Aku membalas.
“Nak. Ibu tinggal disini sejak tiga puluh tahun lalu. Dan tidak ada orang yang tinggal di Kadokan ini bernama Projo Winoto.” Aku semakin bingung. Ibu itu menyilahkanku duduk di kursi terasnya.
“Nak…, perlu kamu ketahui. Dan kamu boleh percaya dan boleh tidak. Setiap malam-malam tertentu pada saat hujan deras. Ibu sering mendengar orang berteriak minta tolong.”
“Terus bagaimana, Bu ?”
“Itulah…, kami antara percaya dan tidak. Kami meyakini bahwa orang-orang yang minta tolong itu adalah para korban pembantaian. Menurut cerita orang tua. Di jembatan belakang itu adalah lokasi penembakan orang-orang yang terlibat PKI.” Aku hanya manggut-manggut saja mendengar penuturan wanita ini. Mungkin suara-suara itu adalah arwah para korban pembunuhan pada tahun 1965. Aku merogoh saku celana. Mencari sepucuk surat dari Pak Projo yang dititipkan Kang Dul. Di dua saku kanan dan kiri tidak ada: hilang.


*Catatan : Cerita ini adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama dan lokasi kejadian adalah kebetulan semata.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mushola di Taipei Main Station

Keindahan Pagoda Tian Yuan di Tamshui