Sepenggal Kisah di Taman Tainan
Kalau
kondisi pabrik sedang sepi seperti sekarang ini, setiap hari Minggu harus libur, tidak bisa tidak.
Bahkan pernah dalam satu bulan hari Sabtu dua kali libur. Tapi kalau pas
pekerjaan ramai. Libur sebulan hanya dikasih dua hari saja. Kalau ditanya mau
libur atau mau lembur, saya pilih lembur.
Alasannya jelas, aku ingin uang tambahan
lebih banyak. Datang jauh ke Taiwan tujuannya khan mencari uang. Menghidupi keluarga di kampung halaman serta
mengumpulkan modal usaha kelak. Aku berangkat ke Taiwan meninggalkan istri dan
satu orang anak berumur lima tahun. Tahun depan sudah mulai masuk Sekolah
Dasar.
“Hadi, agak siangan
nanti mau keluar tidak?” Tanya Rustam padaku.
“Iya, sekalian mau
kirim uang, kamu keluar juga?”
“Barengan saja nanti
ya? Aku mau ketemu istriku.” Jawab Rustam.
Di pabrikku ada lima
orang Indonesia. Aku, Rustam, Arifin, Ilham dan Yudi. Tiga orang temanku sudah
berangkat pergi memancing. Untuk mengisi waktu libur biasanya juga aku ikut
pergi memancing. Ikan yang kami dapat sangat banyak sekali. Saking banyaknya
sering kami bagi-bagikan kepada teman-teman lain pabrik. Dan sisanya kami buat
ikan gereh asin. Hidup di perantauan harus bisa hemat. Untuk makan malam kami
siapkan sendiri. Hanya dikasih makan siang saja. Oh.., iya. Di belakang pabrik
ada sejengkal tanah. Kami tanami kemangi, cabe, pepaya, tomat, daun bawang dan
selada air. Pokoknya untuk urusan sayur-mayur tidak perlu beli. Dan itu sudah
bisa menekan pengeluaran.
Setelah sarapan dengan
ayam goreng sambel tomat lengkap dengan lalapan, aku pergi mandi. Sementara
Rustam masih asyik menghabiskan sebatang rokok kretek filter. Kamar mandi
dengan asrama bangunannya tidak menyatu, ke belakang lima meter.
“Duk..duk …duk …,” aku mendengar langkah kaki di luar kamar mandi.
“Rus, kamu ya?”
Tanyaku.
Di luar tidak ada
jawaban. Dan aku mendengar lagi suara langkah kaki. Selebihnya tidak aku
hiraukan. Begitu keluar kamar mandi aku ketemu dengan Rustam yang sedang
menyetrika bajunya di kamar.
“Rus, tadi kamu ke
kamar mandi?”
“Tidak, aku masih
nyetrika bajuku ini, kenapa?”
“Ah.. nggak, aku kira
tadi kamu di belakang.”
Aku tidak meneruskan
lagi soal suara langkah kaki itu. Segera setelah mengenakan pakaian dan sepatu,
aku dan Rustam berangkat ke Tainan. Sebenarnya jarak dari Rende ke Tainan
lumayan dekat, naik bis paling 30 menit saja. Yang membuat lama itu dari pabrik
ke halte bis terdekat. Aku dan Rustam berboncengan dengan sepeda peninggalan
pekerja asal Thailand sebelum kami datang.
Aku dan Rustam berpisah
di depan setasiun kereta Tainan. Ia hendak bertemu dengan istrinya yang bekerja
di Kaohsiung. Orang bilang,”Enaknya tuh disini. Punya istri yang bekerja
bersama-sama di luar negeri.” Sementara temanku itu berangkat naik kereta, aku
segera ke toko langganan tempat pengiriman uang dan barang. Dimana lagi kalau
tidak di INDEX yang berada di Fubei Street No.11 berada di pojokan jalan.
“Kok tumben hari Sabtu
gini datang, Mas?” Sapa karyawan disitu.
“Iya,Mbak. Hari Sabtu
ini libur. Hanya mau kirim saja dan beli barang kebutuhan,”jawabku menjelaskan.
Setelah mengirim uang aku mampir di warung Indonesia yang lain. Yang
menyediakan masakan Indonesia. Tujuanku ingin mengobati rasa kangen makan
bakso. Di sekitar taman Tainan itu tidak susah menemukannya. Kalau hari Sabtu
begini tidak begitu ramai karena tidak semua TKI dikasih libur hari Sabtu.
“Mas Dewo Suhadi, ya ?” Sapa
seorang gadis di meja seberang. Dengan
sedikit heran aku menjawab.
“Betul.., betul saya
Dewo. Kok mbak tahu nama saya.”
“Aduuuh…, jangan
panggil mbak dong, Mas Dewo. Panggil aku Santi, khan kita berteman di Facebook.”
Ucap gadis itu.
“Namaku Santi Chaniago,
yang ini lho profilnya, Mas Dewo.” Santi membuka smartphone dan menunjukkan akun FB milikinya. Dan ternyata aku
memang berteman dengannya.
Setelah menyantap
semangkok bakso dan es cendol badanku terasa lebih segar dan bertenaga. Aku
kemudian melanjutkan langkah kakiku menuju ke taman Tainan. Meski berada di
pusat kota, tapi karena banyak tanaman rimbun, suasana di taman sungguh sejuk.
“Mas, mau kemana ?”Tanya
Santi.
“Aku mau ke taman,
nyantai.”
“Boleh ikut nggak?”
“Oh.. boleh, khan cuma
di taman.”
Sebenarnya nama Santi
Chaniago sering mampir di akunku. Ketika aku mengunggah foto atau status nama
tersebut sering singgah tapi sama sekali tidak pernah komen. Sesungguhnya aku
sendiri juga tidak percaya dengan gadis yang bersamaku saat ini. Kalau di dalam
foto profilnya tidak sebanding dengan orangnya. Menurut penilaianku kalau di
foto tidak begitu cantik dan terkesan ibu-ibu. Tapi dalam kenyataan benar-benar
beda.
Santi parasnya mirip
penyanyi dangdut Errie Susan. Langsing dengan perawakan yang sintal dan padat. Dengan
pakaian casual musim panas ia memang tampil ceria dan seksi. Kami berdua
menyusuri jalan setapak di dalam taman Tainan. Ngobrol ngalor-ngidul hingga
kemudian berujung pada hal pribadi.
“Jadi Santi sudah
janda?”
“Iya Mas Dewo. Sudah
tiga tahun lalu aku menjanda. Pas waktu aku cuti tahun 2012 lalu aku mengurus
surat cerai.” Mendengar penuturan Santi aku tidak bergeming.
“Santi sekarang
kerjanya dimana ?”
“Di Rende, Mas.”
“Lho berarti satu
daerah dengan saya.”
“Mungkin iya,Mas. Aku
di Taiyin street dekat sungai.”
“Waaah… itu saya sering
lewat. Kalau mau ke Tainan sini saya bersepeda dulu dari pabrik ke halte
terdekat yang sebelah Family itu.”
“Naaah… saya tinggalnya
tidak jauh dari Family itu, Mas Dewo.”
Perbincangan terhenti
karena hapeku berdering. Ternyata ada Line masuk dari Yudi teman sepabrik. Dia
bilang kalau malam ini ia, Ilham dan Arifin tidak pulang. Ada acara perpisahan
dan juga acara perkumpulan organisasi. Ini berarti aku sendirian di asrama.
Tidak terasa matahari
sudah bergeser condong ke barat. Aku lihat jam di hapeku sudah menunjuk pukul
setengah enam. Pada saat musim panas seperti ini jam setengah enam masih
terang. Aku kemudian bergegas beranjak pulang.
“Ayo .., sudah waktunya
pulang.”
Di sepanjang perjalanan
dari Tainan ke Rende kami tetap berbincang. Mungkin karena lebih berpengalaman,
Santi yang usianya baru 25 tahun ini lebih berani dan banyak bertanya kepadaku
yang lebih tua 3 tahun.
“Mas Dewo sudah punya
pacar?” Mendengar ini aku gelagapan menjawab. Aku menjawab jujur saja bahwa
sudah berkeluarga dan punya satu orang anak. Tapi kebanyakan dari laki-laki di
perantauan itu akan mengaku bujang. Aku tidak berlagak sok jujur. Sebagai
catatan saja; satu hal yang hampir menjawab seragam, bahwa seorang laki-laki Indonesia yang bekerja di Taiwan banyak mengaku bujang.
Empat puluh menit
perjalanan naik bis dari Tainan tidak terasa. Kami berdua turun. Sampai di
Rende sudah hampir jam tujuh malam. Semburat jingga di ufuk barat tampak
meredup. Berganti dengan warna biru di langit malam. Setelah mengambil sepeda
kemudian kami meneruskan perjalanan. Dari Family ke pabrik kurang lebih 3 km,
lumayan. Santi membonceng di belakang. Tanpa ragu sama sekali tangannya
merangkul pinggangku.
“Mas Dewo saya sudah
sampai. Turun sini saja.” Pinta Santi.
“Kok di tengah sawah
sini ? Rumah majikanmu yang mana?”Tanyaku keheranan.
“Itu, Mas. Agak ke
tengah itu. Lewat jalan setapak itu baru bisa sampai di rumah majikanku.”
Santi kemudian turun
dari boncengan sepeda. Sampai disini saku benar-benar merasa ada yang ganjil.
Aku sudah hampir enam tahun tinggal di daerah ini. Dua kali periode bekerja di
pabrik yang sama. Aku kenal betul daerah sepanjang dari pabrik ke Family tempat
biasa memarkir sepeda. Tempat berhentinya Santi dengan pabrik tempatku bekerja
pun tidak terlalu jauh. Harusnya pun jika dia sudah lima tahun bekerja disitu
aku kenal. Aneh. Rasa penasaran ini aku bawa kepada satpam pabrik. Kami
kemudian berbincang tentang keadaan daerah ini lima belas tahun yang lalu.
“Lima belas tahun lalu
daerah ini adalah persawahan semuanya. Tidak ada pabrik seperti sekarang. Waktu
itu aku masih bekerja di Tainan. Sebagai satpam di sebuah bank.” Ucap Paman
satpam.
“Terus dengan kejadian
yang baru saja aku alami tiu bagaimana, Paman ?”
“Awo.., ketahuilah.
Tempat itu dulunya adalah komplek makam.”
Mendengar kata komplek makam hatiku langsung ciut.
“Tapi tadi aku
benar-benar memboncengkan orang Indonesia, Paman. Dia tadi bersamaku dari
Tainan, lho.” Ucapku mengurutkan kejadian.
“Hemm…., sangat tidak
mungkin kalau ada orang yang tinggal disitu sekarang ini. Kamu lihat pada siang
hari apa ada rumah di tempat itu. Tidak khan?”
“Iya, Paman. Dari
itulah aku sangat heran ketika ia meminta turun di tempat itu. Sedangkan aku
paham betul jalan ke sini. Aku sudah bekerja di pabrik ini hampir enam tahun
lamanya.”
“Itulah…, dalam
kepercayaanmu, apakah juga mengajarkan kehidupan ghaib?”
“Iya,Paman.”
“Dengan kenyataan
seperti tadi. Apa kesimpulanmu?”
Pertanyaan dari Paman satpam tidak bisa aku jawab. Aku menyeruput
kopi tubruk. Dia menyedot rokok filter kesukaannya. Malam pelan merangkak naik.
Langit bertabur bintang tampak cemerlang. Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya
bergerak cepat di atas sawah tempat turun Santi.
“Awo, kamu lihat
barusan tadi?”
“Iya…, Paman juga
melihatnya ?”
“Jadi kehidupan alam
ghaib itu memang ada. Mereka ada di sekitar kita. Jaga keseimbangan jangan
saling menganggu. Rajinlah berdoa sesuai agamamu. Hanya DIA satu-satunya tempat
meminta pertolongan dan perlindungan.”
Malam Minggu aku
habiskan begadang dengan Paman satpam dengan nonton siaran sepak bola di televisi.
Untuk menghalau lapar, aku membuat nasi goreng. Berdua dengan Paman satpam
menceritakan hal-hal yang pernah dialami sepanjang hidupnya. Agamaku
mempercayai adanya alam ghaib. Kejadian yang kualami tadi siang membuat aku
semakin yakin adanya kehidupan alam ghaib. Segera aku mencari nama Santi
Chaniago di daftar pertemanan Facebook. Tak satupun ada nama temanku yang
bernama depan Santi.
Joinbet365 Casino and play with the best bitcoin - Chakasino
BalasHapusJoinbet365 Casino and 카지노 play with 카지노사이트 the best bitcoin - Chakasino! ➜ bet365 Joinbet365! ☝ SIGN IN. ➜ Joinbet365! Sign up now!