Subejo

Awalan –Su- dalam bahasa Jawa diartikan sebagai bentuk kebaikan. Dari itulah di sekitar kita begitu banyak nama dengan awalan tersebut. Dari pedagang sate di kaki lima, tukang parkir, sopir, dokter, guru hingga jabatan tertinggi di pemerintahan Republik Indonesia didominasi awalan ini. Itulah, Raden Soekemi Sosrodiharjdjo kemudian mengganti nama putranya dari Koesno Sosrodiharhdjo menjadi Soekarno. Karno kecil diharapkan menjadi pendengar yang baik. Kemudian, waktu mengantarkan anak tunggal kelahiran Blitar Jawa Timur itu menjadi penggali Pancasila, dan 44 tahun berikutnya ia  menjadi presiden sekaligus proklamator Republik Indonesia.

Harapan sebuah kehidupan yang baik pada setiap orang tua sebenarnya sama. Setiap anaknya menjadi seorang yang berhasil dalam kehidupan, berbakti kepada orang tua dan menjadi yang lebih baik dari orang tuanya. Kita memahami, dan sering berujar pada diri sendiri, bahwa setidaknya anak-anak kita kelak memperoleh yang lebih baik daripada diri kita sendiri. Dan jika kita memutar balik siklus tersebut, adalah bentuk pengulangan. Orang tua kita juga berharap sebuah kebaikan melingkupi diri mulai lahir hingga kelak kembali pada Tuhan.
Su itu baik, dan selalu peroleh imbuhan kata yang lain sesuai harapan. Suroso, Sudiro, Suharti, Sudarmi. Namun sejauh ini, jarang ketemu dengan Subejo. Bejo adalah keadaan yang sebaik-baiknya dari keadaan buruk dan baik yang menimpa. Maka ada sebuah pameo Jawa, “sak menang-menange wong pinter iseh kalah karo wong bejo ; orang pandai boleh menang tapi masih kalah dengan orang yang beruntung.
Merasa ingin–bejo-, dalam keadaan tertentu manusia ada yang memaksakan diri agar bejo itu digenggamnya. Dan terjadilah pasar bejo. Iya, pasar yang abstrak karena keadaan itu sendiri memang tidak ada, tidak nyata. Ketika sedang duduk di bangku ruang tunggu sebuah terminal. Para pengejar bejo sedang berbincang dengan teman-temannya. Genggaman tangannya jelas, majalah klenik. Ia membolak-balik setiap halaman majalah itu, dari raut wajahnya nampak kegelisahan. Tak lama berselang, seorang perempuan sebayanya menghampiri. Ia juga mengeluarkan majalah yang sama dari tas jinjingnya.
“ Apa ? Kamu juga mau cari peruntungan lewat lotere ?”
“ Lha, bagaimana lagi. Langkah tercepat ya lewat lotere. Aku mau kirim uang untuk dukun nomer itu.”
“ Mending jangan, urungkan niatmu. Tak semudah itu, aku sudah habis-habisan mengejar keberuntungan.”
“ Sudah setor berapa ?”
“ Totalnya sudah tujuh juta rupiah !”
“ Lalu bagaimana ?”
“ Dua bulan sejak aku main peruntungan lotere, dan aku minta bantuan penerawangan, sama sekali belum pernah nembus.”
“ Aku juga mau coba, siapa tahu khan ?”
“ Hemmm…, bukan siapa tahu. Tapi kamu sudah aku kasih tahu bahwa itu hanya akal bulus mereka untuk memanfaatkan kita.”
“ Yang benar ? Lalu untuk apa mereka pasang iklan begitu banyak ?”
“ Ya untuk apalagi kalau tidak mencari uang. Sama seperti kita yang sedang mencari peruntungan. Mereka juga menjaring peruntungan yang sama dari tiap orang yang kepingin seperti kamu dan aku.”
Cep klakep,  kedua perempuan itu diam tak bergeming. Ada perasaan kalut menyelimuti batin mereka berdua. Satu orang sedang merasakan kehilangan uang tujuh juta rupiah, dan yang satu kecewa dengan keterangan temannya karena keinginannya seolah dihalangi. Di luar sana, di Hongkong, Singapura dan Malaysia, para perantau turut bermain peruntungan dari lotere dan sejenisnya. Mereka terbuai mimpi dari janji-janji, ingin cepat kaya dengan jalan pintas.
 “ Aku juga ketipu sebelas juta.” Tiba-tiba seorang wanita duduk membelakangi mereka berdiri dan turut bicara.
 “ Sebelas juta ?” Suara dua orang perempuan itu bersamaan.
 “ Untuk apa uang sebanyak itu ?”
 “ Begini. Aku berusaha memikat majikan laki-laki agar lengket denganku. Lalu aku telpon salah satu nomor telepon di majalah itu. Ia minta sebelas juta untuk bayar mahar jimat dan proses ritual.”
 “ Lalu bagaimana hasilnya ?”
 “ Aku dikirimi paket berupa seikat kain putih, itu harus kupakai disisipkan di pakaian dalamku. Sesuai keterangan, dalam waktu empat puluh hari majikanku bakal bertekuk lutut di hadapanku. Tapi hasilnya nihil, majikanku sama sekali tak bergeming, sama sekali tak tertarik padaku.”
 “ Kamu mumpung belum terlanjur kasih uang kepada mereka, mending urungkan saja. Itu hanya menguras duit. Hasil belum pasti, tertipu itu pasti, seperti aku.”
 Itulah sebabnya mereka para pemburu “ bejo” siap bertaruh dengan bilangan yang sebelumnya adalah bayang-bayang. Kabejan yang diidamkan adalah mimpi dengan mata yang masih melek. Perhitungan antara emosi dengan nalar sangat berlawanan. Emosi bekerjasama dengan nafsu untuk peroleh impian, sedangkan nalar yang mestinya penyeimbang dikalahkan oleh sebuah bujukan.
 Iklan itu tidak salah, mereka memanfaatkan sebuah pasar yang tercipta oleh beragam keinginan manusia. Dengan berbagi polesan kalimat yang menarik hati, iklan-iklan itu menjerat pembaca. Sementara jika pembaca jeli menyikapinya, mereka adalah seragam. Semuanya menawarkan berbagai “layanan” untuk peruntungan.
 Seperti halnya tiga orang wanita tadi, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Jika ditarik lagi kemana arahnya bermuara, adalah uang. Bejo buatan bagaikan magnet, ia adalah besi berani yang mampu menarik berbagai keinginan manusia. Cepat kaya, menarik hati lawan jenis, tambah cantik, ampuh tak mempan senjata. Pasar itu sudah tercipta, dan mereka menawarkan dagangan dengan harga mulai kelas kambing hingga kelas sapi.
  Jika –Su- adalah kumpulan manusia, tak ada sensus yang pasti total jumlah nama dengan awalan ini. Ratusan, ribuan, puluhan ribu hingga jutaan kebaikan itu sebenarnya muncul sejak lahir dari awal penamaan. Dan para pengiklan itu seolah menjadi dewa penolong bagi jutaan manusia yang lain. Mereka memahami sebuah peluang pasar yang luas atas nama peruntungan, hingga reka daya untuk menghilangkan hak hidup manusia lain.
 Namun –Su- yang digadang-gadang itu sering meleset pada tujuan semula. Kabejan itu datang dari Sang Pencipta bukan buatan manusia. Tuhan tak membutuhkan uang jutaan rupiah agar kabejan turun. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jembatan Bacem

Mushola di Taipei Main Station

Keindahan Pagoda Tian Yuan di Tamshui